We Do Green

AMBIENCE

Posted by Agus Hariyono

Dalam hal atau suasana apapun, agaknya tidak berpengaruh

Iseng

GENTELMAN

Posted by Agus Hariyono

Kadang tergesa - gesa, kadang mengacuhkan,
kadang pula membuat orang merasa tersinggung,
padahal hatinya ingin sebuah kesopanan dan kelembutan

iseng

URGENT

Posted by Agus Hariyono

Suka hal - hal penting padahal gak penting
dan selalu dibuat lebih penting lago

iseng

SURGE

Posted by Agus Hariyono

Walaupun seiring dengan kesusahan ini, matipun tak akan terbayang

HURRY

Posted by Agus Hariyono

Orang yang sangat tergesa - gesa,
tergopoh - gopoh, itulah aku.

PENGELOLAAN Sumber Daya Alam Indonesia DALAM PERSPEKTIF SEJARAH (1)

ditulis oleh artnya On Friday, March 20, 2009

PRA KEMERDEKAAN, PASCA KEMERDEKAAN, PHASE TAHUN 1950, PHASE ORDE BARU, PHASE REFORMASI (PRIVATISASI)

Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam Indonesia, terkait kebijakan publik yang dilakukan oleh Pemerintah, dapat dirunut berdasarkan kajian legalitas dan kajian historis pengelola sumber daya alam dari satu Pemerintahan ke Pemerintahan lainnya. Perkembangan masalah publik dari waktu ke waktu yang dihadapi oleh Pemerintah harus disikapi secara positif dengan mengeluarkan kebijakan yang konstruktif, sehingga mampu memberikan kemanfaatan publik yang optimal dan berimplikasi positif bagi kehidupan masyarakat sesuai dengan amanah Undang-Undang dasar 1945 dan perangkat aturan pelaksanaannya. Artinya, bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat-lah yang menjadi titik tekan paket kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah. Poin ini yang akan mengurai dimana sesungguhnya letak kesalahan yang terjadi terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

PHASE PRA KEMERDEKAAN


Sejarah perkembangan pengelolaan sumber daya alam Indonesia dimulai sejak tahun 1871 di Cirebon, yang merupakan usaha pertama pengeboran minyak di Indonesia. Dan pada tahun 1883 konsesi pertama pengusahaan minyak diserahkan Sultan Langkat kepada Aeilko J Zijlker untuk daerah Telaga Said dekat Pangkalan Brandan yang kemudian diusahakan oleh Royal Dutch. Beberapa kilang minyak selanjutnya dibangun oleh Pemerintah Belanda pada era 1890-1907 seperti kilang minyak Balikpapan, Sumatera Utara,Plaju hingga mendirikan lapangan minyak serta saluran pipa Perlak di Pangkalan Brandan. Tanggal 24 Februari 1907 Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (yang terbentuk pada 16 Juni 1890) dan Shell Transport and Trading Company bergabung mendirikan tiga anak perusahaan yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) untuk kegiatan hulu, Aziatic Petroleum untuk pemasaran dan Anglo Saxon untuk transportasi. Ketika pada tahun 1911 Dortche Petroleum Maatschappij di Jawa Timur dibeli oleh BPM, maka hampir seluruh kegiatan minyak dan gas bumi di Indonesia berada di bawah pengawasan Shell.

BPM pertama kali memperoleh kontrak untuk mengusahakan daerah Jambi pada tahun 1920. Dandi bentuklah NIAM, dengan modal 50/50 antara BPM dengan Hindia Belanda dan pengelolaan manajemen berada ditangan BPM. Pasca Perang Dunia II, tahun 1931 Standard Oil Company Of California membentuk subsidiari bernama CALTEX. Sejak itu berbagai perusahaan asing seperti STANVAC, Far Pacific Investment Company berinvestasi dalam eksplorasi dan membangun saluran pipa minyak. Tahun 1941 pecah perang di Asia Tenggara, terjadilah penghancuran dan penutupan sumur minyak bumi di Indonesia. Di masa pendudukan tentara Jepang (tahun 1944), kembali dibangun instalasi minyak.

Akhirnya di tahun 1945 Lapangan minyak sekitar Pangkalan Brandan (ex.konsesi BPM) diserahkan pihak Jepang atas nama sekutu kepada Bangsa Indonesia, dan diberi nama Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia ( PTMNRI).

Sejak Indonesia merdeka, posisi dan peranan perusahaan negara telah menjadi perdebatan dikalangan founding fathers, terutama pada kata “di kuasai oleh negara” (kutipan pasal 33 ayat 1 UUD 1945). Presiden Soekarno menafsirkan bahwa melihat kondisi perekonomian Indonesia masih lemah saat pasca kemerdekaan, maka negara harus menguasai sebagian besar bidang usaha yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi. Sedangkan, Hatta menentang pendapat ini, dan memandang bahwa negara hanya cukup menguasai perusahaan yang benar - benar menguasai kebutuhan pokok masyarakat seperti listrik dan transportasi. Pandangan Hatta ini lebih sesuai dengan paham ekonomi modern. Dimana posisi negara hanya cukup menyediakan infrastruktur yang mendukung proses pembangunan (Rice,1983). Saat itu posisi negara sangat dominan.

Argumentasi paling mendasar atas intervensi pemerintah saat itu adalah situasi negara yang baru lepas dari penjajahan tidak memiliki Social Overhead Capital sebagai modal pembangunan, besarnya kerugian dan kerusakan utilities akibat perang, terpinggirkannya pengusaha pribumi sebagai kelas tiga (setelah eropa dan keturunan Arab serta China). Usaha menstimulasi perekonomian dalam masa demokrasi parlementer diimplementasikan melalui Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dan Program Benteng yang ditujukan untuk membantu pengusaha pribumi (shutter, 1959).

Beberapa kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mendorong perekonomian nasional adalah dengan mendirikan perusahaan negara dalam bidang infrastruktur yang bersifat Monopoli Alamiah (Natural Monopolies) dengan melakukan nasionalisasi terhadap beberapa perusahaan Belanda. Beberapa perusahaan Belanda yang dinasionalisasikan dalam bidang infrastruktur vital seperti; KLM menjadi Garuda Indonesia Airways, Batavie Verkeer Mij dan Deli Spoorweg Mij menjadi Djawatan Kereta Api (DKA). Untuk sektor transportasi dan post, telegraph en telephone Dienst/PTT dinasionalisasikan menjadi Djawatan Pos. Namun, banyaknya pergolakan politik danpemberontakan (Instabilitas Politik), menyebabkan Pemerintah tidak dapat berbuat banyak untuk memperbaiki sarana publik (Feith, 1962). Upaya perlindungan terhadap pengusaha pribumi juga mengalami kegagalan. Lisensi impor yang diberikan kepada pengusaha pribumi jatuh ke tangan pengusaha Tionghoa dan keturunan Arab. Kurangnya jiwa wira usaha (entrepreneurship) dari pengusaha pribumi mengakibatkan Program Benteng yang ditujukan untuk mendorong dan menumbuhkan perekonomian tidak tercapai (Anspach, 1969).

0 Response to "PENGELOLAAN Sumber Daya Alam Indonesia DALAM PERSPEKTIF SEJARAH (1)"

Post a Comment

TERIMA KASIH
Atas komentar yang telah Anda berikan

    My Plurk

    dan mereka tau apa yang mereka lakukan

    Facebook Status Stream

    Blog Archive

    Followers

    QUOTE

    "Membuat keputusan hanyalah permulaan. Bila seseorang membuat keputusan, sebenarnya ia menyelam ke dalam arus kuat yang akan membawanya ke tempat - tempat yang tak pernah ia mimpikan saat pertama kali membuat keputusan itu"
    ==Paulo Caelho==